Biografi
Al-Ghazali
Nama
sebenarnya dari Al-Ghazali Adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad At-Tusi
Al-Ghazali, ia lahir di Tus sebuah kota kecil di Khurasan, Irak, pada tahun 450
H (1058 M).[1]
Panggilan bagi beliau adalah Hujjatul Islam Zainuddin al- Thusi, karena beliau
adalah seorang faqih yang bermazhabkan Syafi’i. orang-orang yang datang
kemidian menyebut laqab (panggilan) beliau yang sesungguhnya dari Abi Hamid
menjadi Al- ghazali. Ada yang berpendapat sebutan Ghazala dinisbatkan pada
suatu wilayah ang cukup terkenal di dataran Thusi. Ada pula yang mengatakan
dengan sebutan Ghazzala, menggunakan huruf zain yang ditekan 2x, yang itu
disandarkan kepada pensifatan atas diri beliau sebagai seorang yang berusaha
untuk senantiasa mensucikan diri dan melembutkan sanubari. Dan akhirnya sebutan
Al- Ghazali lah yang lebih dikenal karena lebih mudah dan sudah sisepakati.
Sejak kecil, imam
Al-Ghazali hidup dalam dunia tasawuf. Pertama-tama Imam Al-Ghazali belajar
bahasa arab dan fiqih di kota Thus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar
dasar-dasar ushul fiqih. Setelah kembali ke kota Thus selama beberapa waktu, ia
pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Al-Ghazali belajar kepada
Al-Haramain Abu Al-Maah Al-Juwani.
Setelah itu ia berkunjung ke kota
Baghdad, ibu kota Daulah Abbasyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham
Al-Mulk. Darinya Al-Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar.
Pada tahun 483 H (1090 M), ia diangkat menjadi guru di madrasah Nizhamiyah.
Pekerjaan ini dilasksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada
masanya itu menjadikannya sebagai referensi utama.
Al-Ghazali
juga melakukan bantahan-bantahan terhadap berbagai pemikiran batiniyah,islamiyah
,filosof, dan lain-lain. Pada masa ini, sekalipun telah menjadi guru besar, ia
masih merasakan kehampaan dan keresahan dalam dirinya. Akhirnya, setelah
merasakan bahwa hanya kehidupan Sufistik yang mampu memenuhi kebutuhan
rohaninya, Al-Ghazali memutuskan untuk menempuh tasawuf sebagai jalan hidupnya.Ihya
Ulumuddin merupakan buku dari hasil perjalanan tasawufnya. Tidak
heran, gagasan ekkonominya membawa pengaruh yang kuat dari para sufi yang ia
kutip seluruhnya dalam magnum opus-nya, Ihya Ulumuddin.[2]
Pada
tahun 499 H (1050 M), atas desakan penguasa pada masa itu, yaitu Wazir Fakhr
Al-Mulk, Al-Ghazali kembali mengajar di madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Akan
tetapi, pekerjaanya itu hanya berlangsung selama dua tahun. Ia kembali lagi ke
kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para Fuqaha dan Mutashawwifin.
Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya
untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada hari senin,
tanggal 14 Jumadil Akhir H (Desember 1111 M), dan dikebumikan di kota al-
Thabiran.
Karya – karya Imam Al-Ghazali
Karya Imam Al-Ghazali diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis
yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Namun demikian, yang ada hingga saat ini
hanya 84 buah diantaranya
·
Ihya ‘Ulum al-Din,
·
al-Munqidz min al-Dhalal,
·
Tahaful al-Falasifah,
·
Minhaj al-Abidin,
·
Qawa’id al- ‘Aqaid,
·
al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul,
·
Mizan al-‘Amal, misykat al-Anwar,
·
Kimia al- Sa’adah,
·
al- Wajiz,
·
Syifa al-Ghalil,dan
·
al-Tibr al –Masbukfi Nasihat al-Mulk.
Pemikiran
Ekonomi Al-Ghazali
Teori
Maslahah Atau Fungsi Kesejahteraan Sosial
Menurut
Mustafa Anas Zarqa, Al-Ghazali merupakan cendikiawan muslim pertama yang
merumuskan konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial yang pertama.
Menurutnya, maslahah adalah memelihara tujuan syari’ah yang terletak pada
perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasab), dan harta
(mal).[3] Selain
itu, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa utilitas sosial dalam islam dapat dibagi
menjadi tiga tingkatan, yaitu:
- Dharuriyah, terdiri
dari seluruh kativitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk memelihara
kelima prinsip tersebut.
- Hajah, terdiri dari seluruh
aktivitas dan hal-hal yang tidak vital bagi pemeliharaan kelima prinsip tersebut,
tetapi dibutuhkan untuk meringankan dan menghilangkan rintangan dan
kesukaran hdup.
- Tahsiniyah, yaitu
berbagi aktivitas dan hal-hal yang melewati batas hajah.
Hirarki
tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang
disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan
terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis.
Walaupun
keselamatan akhirat merupakan tujuan akhir, al-Ghazali tidak ingin bila
pencarian keselamatan ini sampai mengakibatkan pengabaian kewajiban duniawi.
Bahkan pencarian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja diinginkan, tapi
merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia menitik beratkan ”jalan
tengah” dan ”kebenaran” niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila
niat seseorang sesuai dengan aturan illahi, maka aktivitas ekonominya serupa
dengan mencari keselamatan akhirat atau serupa dengan ibadah.
Selanjutnya,
untuk memperkuat pendapatnya tentang perlunya mencari keselamatan duniawi,
al-Ghazali mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan
aktivitas-aktivitas ekonomi, yaitu: pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup
yang bersangkutan; kedua, untuk mensejahterakan keluarga; dan ketiga, untuk
membantu orang lain yang membutuhkan. Menurutnya, tidak terpenuhinya ketiga
alasan ini dapat dipersalahkan oleh agama. Bahkan al-Ghazali mengkritik
mereka yang usahanya terbatas hanya untuk memenuhi tingkatan sekedar penyambung
hidupnya. Beliau menyatakan: ”tujuan utama syari’at adalah memelihara
kesejahteraan manusia yang mencakup perlindingan, keimanan, kehidupan, akal,
keturunan dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindungnya kelima perkara
ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki”[4]
Teori
uang
Dalam
pembahasan uang al-Ghazali memadukan pandangan ruhiyah dengan pandangan materi.
Sebab, menurutnya uang dan keberadaannya merupakan salah satu nikmat Allah SWT,
sedang orang yang menyalah gunakannya termasuk orang yang kufur nikmat.
Evolusi
uang
Al-Ghazali
mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk memiliki banyak
harta agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mencontohkan seseorang yang
mempunyai za’faran (kunyit) membutuhkan unta sebagai alat
kendaraanya dan sesesorang yang mempunyai unta bisa jadi membutuhkann za’faran(kunyit),
sehingga akan terjadi barter (mu’awadah) antara keduanya. Untuk dapat
membandingkan antara kedua benda tersebut secara adil, pertukaran ini tentu
memerlukan alat pengukur nilai. Oleh karenanya Allah SWT melalui perantara nabi
menciptakan dinar dan dirham sebagai standar nilai diantara seluruh
harta. Ia sangat menekankan terhadap pentingnya perekonomian uang, sebab dalam
perekonomian barter lambat laun akan terjadi berbagai macam problem. Misalnya:
- Ketidaksesuaian keinginan antara kedua
belah pihak
- Kesulitan dalam menentukan harga yang adil
- Adanya dua keinginan yang sama
Fungsi
uang
Fungsi uang menurut Ghazali
adalah:
- Sebagai satuan hitung (unit of
account)
- Media penukaran (medim of
exchange)
- Sebagai penyimpan kekayaan (store
of value)
Adapun fungsi
uang yang ketiga ini menurutnya adalah bukan fungsi uang yang sesungguhnya.
Sebab, ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja dengan penimbunan harta
yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah pengangguran dalam
kegiatan ekonomi dan hal tersebut merupakan perbuatan zalim.
Sejalan
dengan itu, al-Ghazali sangat menekankan bahwa uang tidak mempunya manfaat pada
zatnya sendiri. Dengan kata lain, uang tidak mempunyai harga tetapi dapat
merefleksikan semua harga. Uang diciptakan untuk beredar, sehingga menjadi
perantara diantara manusia dalam bertransaksi. Dengan terlihatnya uang dari
tangan satu ke tangan lainnya, maka akan sangat terlihat kegiatan ekonomi.
Uang
tidak memberikan kegunaan langsung. Hanya jika uang itu digunakan untuk membeli
barang, barang itu akan memberikan kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik
dikatakan bahwa kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan
kegunaan tidak langsung (inderect utility function).[5]
Penimbunan
dan peleburan uang
Al-Ghazali
menjelaskan bahwa orang yang melakukan penimbunan uang merupaka orang yang
berbuat zalim dan menghilangkan hikmah yang terkandung dalam penciptaannya.
Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 24: ”dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Orang
yang menimbun uang berarti mencegahnya dari peredaran sehingga
ia dan orang lain tidak dapat mengambil manfaatnya. Dalam teori moneter modern,
penimbunan uang berarti memperlabat perputaran uang. Ini berarti memperkecil
terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun peleburan uang sama
saja artinya dengan mengurang jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk
melakukan transaksi.
Lebih
dari itu, al-Ghazali sangat mengecam orang yang melebur dinar menjadi perhiasan
emas dan perak. Menurtnya, mereka itu adalah orang tidak bersyukur kepada Allah
SWT dan kedudukannya jauh lebih rendah dari orang yang menimbun uang. Karena
melebur uang dinar dan dirham berarti menarik uang dari peredaran untuk
selama-lamanya, sedangkan menimbun uang berarti menarik uang itu dari peredaran
untuk sementara waktu.
Evolusi
pasar
Bayangan
jika aktivitas perdagangan hanya mengandalkan pola barter atau kehidupan
ekonomi terlalu banyak diatur penguasa. Kemungkinan terjadinya berbagai
distorsi harga tentu sangat besar. Karena itulah pemikiran tentang perlunya
aktivitas perdagangan yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran jauh
sebelum munculnya pemikiran ekonomi modern telah diungkapkan oleh para pemikir
islam, salah satunya adalah Ghazali.
Simak
saja ucapannya, ”dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak
tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian
tidak ada. Namun, secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan
masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani
tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaann ini menimbulkan
masalah.
Oleh karena itu, secara alami pula orang akan
terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu pihak dan
tempat penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang akan
didatangi pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga
terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat
melakukan barter, juga terdorong untuk pergi kepasar ini. Bila dipasar juga tidak
ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan
harga yang relatif murah untuk kemidian disimpan sebagai persediaan. Pedagang
kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan.
Ghazali
menyadari akan sulitnya sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian
kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya
perdagangan untuk memberikan ilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan
tempat dimana dibutuhkan. Dengan didorong oleh kepentingan pribadi orang-orang,
pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari laba, yaitu pedagang.
Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan merupakan hal yang esensial bagi
berfungsinya perekonomian progresif dengan baik.
.
Etika perilaku pasar
Dalam pandangannya, pasar harus
berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Secara khusus, ia
memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang-barang
kebutuhan dasar lainnya. Penimbunan barang merupakan kedzaliman yang besar,
terutama disaat terjadi kelangkaan dan para pelakunya harus dikutuk.
Ia menganggap bahwa iklan palsu sebagai
salah satu kejahatan pasar yang harus dilarang. Ia juga memperingatkan para
pedagang agar tidak memberikan informasi yang salah mengenai berat,jumlah atau
harga barang penjualannya. Dalam pandangannya, pasar harus berjalan dengan
bebas dan bersih dari segala bentuk penipuan. perilaku para
pelaku pasar harus mencerminkan kebajikan, yakni memberikan suatu tembahan di
samping keuntungan material bagi orang
lain dalam bertransaksi.
Aktivitas Produksi
a.
Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban Sosial
Al Ghazali menganggap kerja adalah
sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi
barang barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal
ini jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang
memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan
masyarakat, maka kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada
seorangpun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang
diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan dimintai
pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada prinsipnya negara harus
bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan
barang-barang pokok.
b.
Hierarki Produksi
Secara garis besar, Al-Ghazali membagi
aktifitas produksi kedalam tiga kelompok:
1. Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga
kelangsungan hidup manusia.
2.
Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat
tambahan bagi industri dasar.
3.
Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan
industri dasar.
c.
Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Tahapan dan keterkaitan produksi yang
beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerja sama. Beliau
juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam
keluarga.
Al-Ghazali
mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu
persaingan yang berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh
keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan
barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga membantu pemenuhan kebutuhan orang
lain. Sedangkan persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan
dengan barang-barang mewah. Namun demikian, ia menegaskan bahwa persaingan
jangan sampai mengakibatkan kecemburuan dan melanggar hak orang lain.
Perlu adanya
transportasi
Memang benar pendapat Emery Reves bahwa selama
masa 10.000 tahun, transportasi baru dijalankan oleh hewan dan perubahan besar
baru terjadi pada abad ke-19. Pada Al-Ghazali juga diakuinya
sendiri, hewan adalah satu-satunya kendaraan di daratan, di samping adanya
kapal-kapal untuk pengangkutan di lautan. Peristiwa ini disebutkan juga dalam
surat Az-zukhruf ayat 12 – 14, An-Nahl ayat 5 – 8, dan Yasin ayat 42, yaitu
adanya kendaraan hewan di daratan, yaitu kuda, unta, keledai, dan hewan-hewan
kendaraan adanya kapal di lautan.
Akan tetapi semua ayat itu sudah menjadikan
adanya kendaraan lain yang akan menjadi transportasi manusia. Dalam surat
Al-Isra ayat 70, disebutkan bahwa memiliki alat transportasi di darat dan di
laut menjadi kehormatan besar bagi manusia, dibandingkan dengan segala makhluk
yang lainnya.[6]
Ekonomi Jasa
Sesudah munculnya transportasi sebagai satu
cabang ekonomi penting, lahirlah cabang usaha lain yang dinamakan ekonomi
jasa.
Perkembangan ekonomi
meningkat pada hubungan jasa di antara manusia, yaitu antara pemilik barang
dagangan dengan pemilik kendaraan, dan selanjutnya antara pengusaha atau
pedagang yang memiliki modal dan buruh yang mempunyai tenaga. Hubungan inilah
yang dalam istilah hokum fiqh islam dinamakan Ijarah atau menurut
Al-Ghazali Kira.
Karena ini berlaku dalam segala bidang dan
lapangan ekonomi yang meliputi seluruh kepentingan hidup manusia, hubungan
kerja menjadi suatu mata pencaharian manusia yang penting. Pada mulanya hanya
di kalangan pemilik harta dengan pemilik kendaraan sehingga terjadi
sewa-menyewa, tetapi kemudian terjadilah perkembangan baru antara si pemilik,
baik pedagang ataukah pemilik kendaraan dengan kuli atau pekerjaan yang
mengangkat barang mereka ke dalam kendaraan. Kemudian karena usaha
masing-masing bertambah besar, mereka memerlukan pekerja atau pegawai yang akan
menjalankan perusahaannya baik dalam bidang administrasi maupun lapangan
operasional.
Peran Negara
dan Keuangan Publik
a. Perlunya
pemerintahan terhadap mata uang
Untuk mengulangi pembuatan dan penempatan mata
uang, Al-Ghazali tidaklah menyerahkannya kepada kemauan masing-masing golongan
dan tidak cukup dengan keputusan bersama dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan
adanya instansi resmi yang akan berdiri dengan adil bagi segala pihak. Unsur
pemerintah sebagai instansi resmi yang memberikan keadilan bukanlah berdiri
diluar pagar hubungan ekonomi, tetapi merupakan syarat penting yang tidak dapat
diabaikan. Tugas pemerintah adalah melakukan keadilan antara seluruh rakyat
yang saling bertukar kepentingan dan kebutuhan hidup.
b.
Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas
Untuk meningkatkan kemakmuran
perekonomian,negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, serta
stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka penduduk akan
berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya akan meninggalkan sawah dan
ladang. Hal itu mengakibatkan pendapatan publik menurun dan kas negara kosong,
sehingga kebahagiaan dan kemakmuran menghilang.
Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga
harus mengambil tindakan untuk menegakan kondisi keamanan secara internal dan
eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat dari kejahatan.
Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan sengketa, serta hukum dan
peraturan untuk mengawasi perilaku orang-orang agar mereka tidak berbuat
seenaknya.
Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah –
sebuah badan pengawas yang dipakai banyak negara Islam pada waktu itu, dan
berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-praktik yang perlu
diawasi diantaranya seperti timbangan serta ukuran yang tidak benar, iklan
palsu, pengakuan laba palsu, transaksi barang haram, kontrak yang cacat,
kesepakatan yang mengandung penipuan, dan lain-lain.
c.
Keuangan Publik
1)
Sumber- sumber
Pendapatan Negara
Al- Ghazali menyebutkan bahwa salah
satu sumber pendapatan yang halal adalah harta tanpa ahli waris pemiliknya,
tidak dapat dilacak, ditambah sumbangan sedekah atau wakaf yang tidak ada
pengelolanya.
Pajak- pajak
yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai, jaziyah dan upeti atau
amwal al masalih.
Disamping itu,
Al- Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain yang berkaitan
dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan pembagian beban
diantara para pembayar pajak.
2)
Utang Publik
Dengan melihat kondisi ekonomi,
Al-Ghazali mengizinkan utang
publik jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan
dimasa yang akan datang. contoh utang seperti ini adalah revenue bonds yang
digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
3)
Pengeluaran
Publik
Penggambaran fungsional dari
pengeluaran publik yang direkomendasikan Al- Ghazali bersifat agak luas dan
longgar, yakni penegakan keadilan dan stabilitas negara, serta pengembangan
suatu masyarakat yang makmur. Mengenai pembangunan masyarakat secara umum Al-
Ghazali menunjukkan perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Al- Ghazali
mengakui “ Konsumsi bersama” dan aspek spill- over dari barang- barang publik.
Di lain tempat ia menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat diadakan untuk
fungsi- fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan
dan pelayanan kesehatan.
Permintaan, penawaran, harga dan
laba
Walaupun
Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern,
beberapa paragraf dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan
permintaan. Untuk kurva penawaran yang ”naik dari kiri bawah ke kanan atas”
dinyatakan oleh dia sebagai ”jika petani tidak mendapatkan pembeli dan
barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Sementara
untuk kurva permintaan yang ”turun dari kiri atas ke kanan bawah”
dijelaskan oleh dia sebagai ”harga dapat diturunkan dengan mengurangi
permintaan”.
Ia
juga memiliki wawasan tentang konsep elastisitas saat menyatakan bahwa
pengurangan margin keuntungan dengan mengurangi harga akan menyebabkan
peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba. Disamping itu
al-Ghazali juga menyadari tentang permintaan harga inelastis. Ia menyataka
karena makanan adalah kebutuhan pokok, motivasi laba harus seminimal mungkin
mendorong perdagangan makanan, karena mungkin terjadi eksploitasi melalui harga
dan laba yang berlebihan.
Imam
Ghazali dan para pemikir lain pada zamanya ketika membicarakan harga biasanya
langsung mengkaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas
dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali, keuntungan adalah
kompensasi dari kepayahan dan perjalanan, risiko bisnis, dan ancaman
keselamatan diri si pedagang. Baginya keuntunganlan yang menjadi motivasi
pedagang. Namun ia menekankan kembali bahwa keuntungan yang sesungguhnya adalah
keuntungan akhirat.
Seputar
pajak
Menurut
Imam Ghazali, apabila suatu negara sangat membutuhkan tentara untuk menjaga dan
melindungi wilayahnya dari segala macam ancaman, sementara perbendaharaan
negara tidak mencukupi, pemerintah berhak memungut pajak dari rakyatnya yang
mampu. Dalam hal ini, ia mensyaratkan bahwa pemerintah negara itu merupakan
pemerintah yang kredibel, kondisi keuangan negara benar-benar dalam keadaan
kosong, dan kebijakan pajak ini hanya khusus dikenakan pada kondisi tersebut,
yakni untuk memenuhi kebutuhan tentara saja.
Institusi Perbankan
Imam Al-Ghazali
menyebutkan perlu adanya percetakan uang dengan perlunya usaha perbankan.
Bersamaan dengan berdirinya kantor percetakan uang
tersebut, oleh pemerintah, dalam dunia perekonomian muncul kebutuhan lain yang
tidak kurang pentingnya, yaitu institusi perbankan. Dalam
tingkatannya yang pertama, institusi ini bertugas menjadi tempat penukaran mata
uang yang berlainan, dan juga sebagai perantara untuk mengirimkan uang ke
daerah-daerah yang lain.
Dunia Islam di zaman AL-Ghazali sudah mengenal
adanya pasar-pasar internasional, tempat bertemunya segala perdagangan dari
berbagai bangsa, dan stasiun berkumpulnya segala barang dagangan dari Timur dan
Barat.
Adapun mata uang yang dipergunakan di
pasar-pasar ialah mata uang emas(dinar), dan mata uang perak(dirham). Uang
dinar beredar di wilayah-wilayah sebelah barat Negara Islam, sedangkan uang
dirham beredar di Irak dan Persi. Akan tetapi, pada abad ke-4 mulai beredar
uang dinar di Irak dan daerah lainnya, sedangkan diwilayah sebelah timur tetap
memakai uang dirham.
Nilai uang dinar adalah 14
dirham, tetapi selalu turun naik dari waktu ke waktu dan nilainyapun berbeda
dari suatu daerah dengan daerah yang lain. Bahkan, nilainya pernah turun menjadi 10
dirham, berbeda 13 dirham, bahkan naik menjadi 15 dirham.
Berhati-hatilah terhadap
riba, karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi persoalan tukar-menukar
keuangan dan senantiasa berada di pinggir dosa, Al-Ghazali berulangkali
memperingatkan supaya para banker dan semua orang yang berhubungan dengan bank,
berhati-hati terhadap dosa riba.
Larangan Riba
Bagi Al-Ghozali larangan riba yang
dipandang sama dengan bunga adalah mutlak. Seperti halnya para ilmuan Muslim
dan Eropa, pada umumnya mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait
dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara bunga dapat muncul dalam bentuk
yang tersembunyi. Bunga dapat muncul jika ada pertukaran emas dengan emas,
tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan
waktu penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera dan ada
permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan ini disebut riba
al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang diperlukan tidak sama, kelebihan yang
diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua
bentuk transaksi tersebut hukumnya haram.
Jika pertukaran melibatkan komoditas
dengan jenis yang sama, seperti logam (emas dan perak) atau bahan makan, hanya
riba al-nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila penukarannya
antara komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan) keduanya
diperbolehkan.
Daftar
Pustaka
- Amalia,
Euis. 2007. ”Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik
Hingg Kontemporer”. Pusaka Asatruss: Jakarta.
- Karim,
Adiwarman A. 2006. ”Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.
- Karim,
Adiwarman A. 2004. ”Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer”. Gema
Insani Press: Jakarta.
- Perwaatmadja,
Karnaen A, & Anis Biarwati. 2008. ”Jejak Rekam Ekonomi Islam”.
Cicero Publishing: Jakarta.
- Chapra,
Umar. 2000. ”Islam Dan Tantangan Ekonomi”. Gema Insani Press:
Jakarta.
·
Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran
dan Terjemahan, Bandung, J-Art,2004
[1]
Adiwarman A
Karim. Sejarah pemikiran ekonomi islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006) hal 314
[2] Karnaen A Perwaatmadja & Anis
Biarwati. Jejak Rekam Ekonomi Islam. (jakarta: Cicero Publishing, 2008)
hal 38
[3] Euis Amalia M.Ag. sejarah
pemikiran ekonomi islam dari masa klasik hingga kontemporer. (jakarta:
pusaka asatruss, 2007) hal 123
[4]
Umer Chapra. Islam dan Tantangan
Ekonomi. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) hal 1
[5] Adiwarman A Karim. Ekonomi
islam suatu kajian kontemporer. (jakarta: gema insani press, 2004) hal 53 Karnaen
A Perwaatmadja & Anis Biarwati. Jejak Rekam Ekonomi Islam. (jakarta: Cicero
Publishing, 2008) hal 38