Jumat, 04 November 2016

sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Imam Al Ghazali




Biografi Al-Ghazali
            Nama sebenarnya dari Al-Ghazali Adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad At-Tusi Al-Ghazali, ia lahir di Tus sebuah kota kecil di Khurasan, Irak, pada tahun 450 H (1058 M).[1] Panggilan bagi beliau adalah Hujjatul Islam Zainuddin al- Thusi, karena beliau adalah seorang faqih yang bermazhabkan Syafi’i. orang-orang yang datang kemidian menyebut laqab (panggilan) beliau yang sesungguhnya dari Abi Hamid menjadi Al- ghazali. Ada yang berpendapat sebutan Ghazala dinisbatkan pada suatu wilayah ang cukup terkenal di dataran Thusi. Ada pula yang mengatakan dengan sebutan Ghazzala, menggunakan huruf zain yang ditekan 2x, yang itu disandarkan kepada pensifatan atas diri beliau sebagai seorang yang berusaha untuk senantiasa mensucikan diri dan melembutkan sanubari. Dan akhirnya sebutan Al- Ghazali lah yang lebih dikenal karena lebih mudah dan sudah sisepakati.
       Sejak kecil, imam Al-Ghazali hidup dalam dunia tasawuf. Pertama-tama Imam Al-Ghazali belajar bahasa arab dan fiqih di kota Thus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar ushul fiqih. Setelah kembali ke kota Thus selama beberapa waktu, ia pergi ke Naisabur untuk melanjutkan rihlah ilmiahnya. Al-Ghazali belajar kepada Al-Haramain Abu Al-Maah Al-Juwani.
      Setelah itu ia berkunjung ke kota Baghdad,  ibu kota Daulah Abbasyah, dan bertemu dengan Wazir Nizham Al-Mulk. Darinya Al-Ghazali mendapat penghormatan dan penghargaan yang besar. Pada tahun 483 H (1090 M), ia diangkat menjadi guru di madrasah Nizhamiyah. Pekerjaan ini dilasksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masanya itu menjadikannya sebagai referensi utama.
            Al-Ghazali juga melakukan bantahan-bantahan terhadap berbagai pemikiran batiniyah,islamiyah ,filosof, dan lain-lain. Pada masa ini, sekalipun telah menjadi guru besar, ia masih merasakan kehampaan dan keresahan dalam dirinya. Akhirnya, setelah merasakan bahwa hanya kehidupan Sufistik yang mampu memenuhi kebutuhan rohaninya, Al-Ghazali memutuskan untuk menempuh tasawuf sebagai jalan hidupnya.Ihya Ulumuddin merupakan buku dari hasil perjalanan tasawufnya. Tidak heran, gagasan ekkonominya membawa pengaruh yang kuat dari para sufi yang ia kutip seluruhnya dalam magnum opus-nya, Ihya Ulumuddin.[2]
            Pada tahun 499 H (1050 M), atas desakan penguasa pada masa itu, yaitu Wazir Fakhr Al-Mulk, Al-Ghazali kembali mengajar di madrasah Nizhamiyah di Naisabur. Akan tetapi, pekerjaanya itu hanya berlangsung selama dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk mendirikan sebuah madrasah bagi para Fuqaha dan Mutashawwifin. Al-Ghazali memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada hari senin, tanggal 14 Jumadil Akhir H (Desember 1111 M), dan dikebumikan di kota al- Thabiran.
Karya – karya Imam Al-Ghazali
            Karya Imam Al-Ghazali diperkirakan telah menghasilkan 300 buah karya tulis yang meliputi berbagai disiplin ilmu. Namun demikian, yang ada hingga saat ini hanya 84 buah diantaranya
·         Ihya ‘Ulum al-Din,
·          al-Munqidz min al-Dhalal,
·         Tahaful al-Falasifah,
·         Minhaj al-Abidin,
·          Qawa’id al- ‘Aqaid,
·          al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul,
·         Mizan al-‘Amal, misykat al-Anwar,
·          Kimia al- Sa’adah,
·          al- Wajiz,
·         Syifa al-Ghalil,dan
·           al-Tibr al –Masbukfi Nasihat al-Mulk.

Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali
Teori Maslahah Atau Fungsi Kesejahteraan Sosial
            Menurut Mustafa Anas Zarqa, Al-Ghazali merupakan cendikiawan muslim pertama yang merumuskan  konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial yang pertama. Menurutnya, maslahah adalah memelihara tujuan syari’ah yang terletak pada perlindungan agama (din), jiwa (nafs), akal (aql), keturunan (nasab), dan harta (mal).[3] Selain itu, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa utilitas sosial dalam islam dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
  • Dharuriyah, terdiri dari seluruh kativitas dan hal-hal yang bersifat esensial untuk memelihara kelima prinsip tersebut.
  • Hajah, terdiri dari seluruh aktivitas dan hal-hal yang tidak vital bagi pemeliharaan kelima prinsip tersebut, tetapi dibutuhkan untuk meringankan dan menghilangkan rintangan dan kesukaran hdup.
  • Tahsiniyah, yaitu berbagi aktivitas dan hal-hal yang melewati batas hajah.
            Hirarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang-barang psikis.
            Walaupun keselamatan akhirat merupakan tujuan akhir, al-Ghazali tidak ingin bila pencarian keselamatan ini sampai mengakibatkan pengabaian kewajiban duniawi. Bahkan pencarian kegiatan-kegiatan ekonomi bukan saja diinginkan, tapi merupakan keharusan bila ingin mencapai keselamatan. Ia menitik beratkan ”jalan tengah” dan ”kebenaran” niat seseorang dalam setiap tindakan. Bila niat seseorang sesuai dengan aturan illahi, maka aktivitas ekonominya serupa dengan mencari keselamatan akhirat atau serupa dengan ibadah.
            Selanjutnya, untuk memperkuat pendapatnya tentang perlunya mencari keselamatan duniawi, al-Ghazali mengidentifikasi tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi, yaitu: pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan; kedua, untuk mensejahterakan keluarga; dan ketiga, untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Menurutnya, tidak terpenuhinya ketiga alasan ini dapat dipersalahkan oleh agama. Bahkan al-Ghazali mengkritik mereka yang usahanya terbatas hanya untuk memenuhi tingkatan sekedar penyambung hidupnya. Beliau menyatakan: ”tujuan utama syari’at adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindingan, keimanan, kehidupan, akal, keturunan dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindungnya kelima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki”[4]
Teori uang
            Dalam pembahasan uang al-Ghazali memadukan pandangan ruhiyah dengan pandangan materi. Sebab, menurutnya uang dan keberadaannya merupakan salah satu nikmat Allah SWT, sedang orang yang menyalah gunakannya termasuk orang yang kufur nikmat.
Evolusi uang
            Al-Ghazali mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk memiliki banyak harta agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia mencontohkan seseorang yang mempunyai za’faran (kunyit) membutuhkan unta sebagai alat kendaraanya dan sesesorang yang mempunyai unta bisa jadi membutuhkann za’faran(kunyit), sehingga akan terjadi barter (mu’awadah) antara keduanya. Untuk dapat membandingkan antara kedua benda tersebut secara adil, pertukaran ini tentu memerlukan alat pengukur nilai. Oleh karenanya Allah SWT melalui perantara nabi menciptakan dinar dan  dirham sebagai standar nilai diantara seluruh harta. Ia sangat menekankan terhadap pentingnya perekonomian uang, sebab dalam perekonomian barter lambat laun akan terjadi berbagai macam problem. Misalnya:
  • Ketidaksesuaian keinginan antara kedua belah pihak
  • Kesulitan dalam menentukan harga yang adil
  • Adanya dua keinginan yang sama

Fungsi uang
Fungsi uang menurut Ghazali adalah:
  • Sebagai satuan hitung (unit of account)
  • Media penukaran (medim of exchange)
  • Sebagai penyimpan kekayaan (store of value)
            Adapun fungsi uang yang ketiga ini menurutnya adalah bukan fungsi uang yang sesungguhnya. Sebab, ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja dengan penimbunan harta yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah pengangguran dalam kegiatan ekonomi dan hal tersebut merupakan perbuatan zalim.
            Sejalan dengan itu, al-Ghazali sangat menekankan bahwa uang tidak mempunya manfaat pada zatnya sendiri. Dengan kata lain, uang tidak mempunyai harga tetapi dapat merefleksikan semua harga. Uang diciptakan untuk beredar, sehingga menjadi perantara diantara manusia dalam bertransaksi. Dengan terlihatnya uang dari tangan satu ke tangan lainnya, maka akan sangat terlihat kegiatan ekonomi.
            Uang tidak memberikan kegunaan langsung. Hanya jika uang itu digunakan untuk membeli barang, barang itu akan memberikan kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan bahwa kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung (inderect utility function).[5]
Penimbunan dan peleburan uang
            Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang melakukan penimbunan uang merupaka orang yang berbuat zalim dan menghilangkan hikmah yang terkandung dalam penciptaannya. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 24: ”dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
            Orang yang menimbun uang berarti mencegahnya dari peredaran sehingga ia dan orang lain tidak dapat mengambil manfaatnya. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlabat perputaran uang. Ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun peleburan uang sama saja artinya dengan mengurang jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
            Lebih dari itu, al-Ghazali sangat mengecam orang yang melebur dinar menjadi perhiasan emas dan perak. Menurtnya, mereka itu adalah orang tidak bersyukur kepada Allah SWT dan kedudukannya jauh lebih rendah dari orang yang menimbun uang. Karena melebur uang dinar dan dirham berarti menarik uang dari peredaran untuk selama-lamanya, sedangkan menimbun uang berarti menarik uang itu dari peredaran untuk sementara waktu.

Evolusi pasar
            Bayangan jika aktivitas perdagangan hanya mengandalkan pola barter atau kehidupan ekonomi terlalu banyak diatur penguasa. Kemungkinan terjadinya berbagai distorsi harga tentu sangat besar. Karena itulah pemikiran tentang perlunya aktivitas perdagangan yang ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran jauh sebelum munculnya pemikiran ekonomi modern telah diungkapkan oleh para pemikir islam, salah satunya adalah Ghazali.
            Simak saja ucapannya, ”dapat saja petani hidup dimana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya, pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun, secara alami, mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaann ini menimbulkan masalah.
             Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat disatu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian dipihak lain. Tempat inilah yang akan didatangi pembeli sesuai dengan kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar.  Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat melakukan barter, juga terdorong untuk pergi kepasar ini. Bila dipasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemidian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan.
            Ghazali menyadari akan sulitnya sistem barter, perlunya spesialisasi dan pembagian kerja menurut regional dan sumber daya setempat. Ia juga menyadari pentingnya perdagangan untuk memberikan ilai tambah dengan menyediakannya pada waktu dan tempat dimana dibutuhkan. Dengan didorong oleh kepentingan pribadi orang-orang, pertukaran menimbulkan perantara-perantara yang mencari laba, yaitu pedagang. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa perdagangan merupakan hal yang esensial bagi berfungsinya perekonomian progresif dengan baik.
.       Etika perilaku pasar
Dalam pandangannya, pasar harus berfungsi berdasarkan etika dan moral para pelakunya. Secara khusus, ia memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Penimbunan barang merupakan kedzaliman yang besar, terutama disaat terjadi kelangkaan dan para pelakunya harus dikutuk.
Ia menganggap bahwa iklan palsu sebagai salah satu kejahatan pasar yang harus dilarang. Ia juga memperingatkan para pedagang agar tidak memberikan informasi yang salah mengenai berat,jumlah atau harga barang penjualannya. Dalam pandangannya, pasar harus berjalan dengan bebas dan bersih dari segala bentuk penipuan. perilaku para pelaku pasar harus mencerminkan kebajikan, yakni memberikan suatu tembahan di samping keuntungan material bagi orang lain dalam bertransaksi.

    Aktivitas Produksi
a.      Produksi Barang-barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban Sosial
Al Ghazali menganggap kerja adalah sebagai bagian dari ibadah seseorang. Bahkan secara khusus ia memandang bahwa produksi barang barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard al- kifayah). Hal ini jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung di dunia usaha yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban masyarakat telah terpenuhi. Namun jika tidak ada seorangpun yang melibatkan diri dalam kegiatan tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan masyarakat semua akan dimintai pertanggungjawabananya di akhirat. Dalam hal ini, pada prinsipnya negara harus bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap kebutuhan barang-barang pokok.

b.      Hierarki Produksi
Secara garis besar, Al-Ghazali membagi aktifitas produksi kedalam tiga kelompok:
1.       Industri dasar, yakni industri-industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia.
2.      Aktivitas penyokong, yaitu aktifitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar.
3.      Aktivitas komplementer, yaitu aktivitas yang berkaitan dengan industri dasar.

c.       Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya
Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja, koordinasi, dan kerja sama. Beliau juga menawarkan gagasan mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga. Al-Ghazali mengidentifikasi tiga tingkatan persaingan, yakni persaingan yang wajib yaitu persaingan yang berhubungan dengan kewajiban agama dalam rangka memperoleh keselamatan. Persaingan yang disukai yaitu yang berhubungan dengan perolehan barang kebutuhan pokok, pelengkap, dan juga membantu pemenuhan kebutuhan orang lain. Sedangkan persaingan yang tidak diperbolehkan yaitu yang berhubungan dengan barang-barang mewah. Namun demikian, ia menegaskan bahwa persaingan jangan sampai mengakibatkan kecemburuan dan melanggar hak orang lain.
Perlu adanya transportasi
Memang benar pendapat Emery Reves bahwa selama masa 10.000 tahun, transportasi baru dijalankan oleh hewan dan perubahan besar baru terjadi pada abad ke-19. Pada Al-Ghazali juga diakuinya sendiri, hewan adalah satu-satunya kendaraan di daratan, di samping adanya kapal-kapal untuk pengangkutan di lautan. Peristiwa ini disebutkan juga dalam surat Az-zukhruf ayat 12 – 14, An-Nahl ayat 5 – 8, dan Yasin ayat 42, yaitu adanya kendaraan hewan di daratan, yaitu kuda, unta, keledai, dan hewan-hewan kendaraan adanya kapal di lautan.
Akan tetapi semua ayat itu sudah menjadikan adanya kendaraan lain yang akan menjadi transportasi manusia. Dalam surat Al-Isra ayat 70, disebutkan bahwa memiliki alat transportasi di darat dan di laut menjadi kehormatan besar bagi manusia, dibandingkan dengan segala makhluk yang lainnya.[6]

       Ekonomi Jasa
Sesudah munculnya transportasi sebagai satu cabang ekonomi penting, lahirlah cabang usaha lain yang dinamakan ekonomi jasa. 
Perkembangan ekonomi meningkat pada hubungan jasa di antara manusia, yaitu antara pemilik barang dagangan dengan pemilik kendaraan, dan selanjutnya antara pengusaha atau pedagang yang memiliki modal dan buruh yang mempunyai tenaga. Hubungan inilah yang dalam istilah hokum fiqh islam dinamakan Ijarah atau menurut Al-Ghazali Kira.
Karena ini berlaku dalam segala bidang dan lapangan ekonomi yang meliputi seluruh kepentingan hidup manusia, hubungan kerja menjadi suatu mata pencaharian manusia yang penting. Pada mulanya hanya di kalangan pemilik harta dengan pemilik kendaraan sehingga terjadi sewa-menyewa, tetapi kemudian terjadilah perkembangan baru antara si pemilik, baik pedagang ataukah pemilik kendaraan dengan kuli atau pekerjaan yang mengangkat barang mereka ke dalam kendaraan. Kemudian karena usaha masing-masing bertambah besar, mereka memerlukan pekerja atau pegawai yang akan menjalankan perusahaannya baik dalam bidang administrasi maupun lapangan operasional.

      Peran Negara dan Keuangan Publik
a.      Perlunya pemerintahan terhadap mata uang
Untuk mengulangi pembuatan dan penempatan mata uang, Al-Ghazali tidaklah menyerahkannya kepada kemauan masing-masing golongan dan tidak cukup dengan keputusan bersama dari masyarakat. Untuk itu, diperlukan adanya instansi resmi yang akan berdiri dengan adil bagi segala pihak. Unsur pemerintah sebagai instansi resmi yang memberikan keadilan bukanlah berdiri diluar pagar hubungan ekonomi, tetapi merupakan syarat penting yang tidak dapat diabaikan. Tugas pemerintah adalah melakukan keadilan antara seluruh rakyat yang saling bertukar kepentingan dan kebutuhan hidup.
b.      Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas
Untuk meningkatkan kemakmuran perekonomian,negara harus menegakkan keadilan, kedamaian, keamanan, serta stabilitas. Apabila terjadi ketidakadilan dan penindasan, maka penduduk akan berpindah ke daerah lain dan mereka tentunya akan meninggalkan sawah dan ladang. Hal itu mengakibatkan pendapatan publik menurun dan kas negara kosong, sehingga kebahagiaan dan kemakmuran menghilang.
Al-Ghazali menekankan bahwa negara juga harus mengambil tindakan untuk menegakan kondisi keamanan secara internal dan eksternal. Diperlukan seorang tentara untuk melindungi rakyat dari kejahatan. Diperlukan pula peradilan untuk menyelesaikan sengketa, serta hukum dan peraturan untuk mengawasi perilaku orang-orang agar mereka tidak berbuat seenaknya.
Al-Ghazali juga mendukung al-hisabah – sebuah badan pengawas yang dipakai banyak negara Islam pada waktu itu, dan berfungsi mengawasi praktik pasar yang merugikan. Praktik-praktik yang perlu diawasi diantaranya seperti timbangan serta ukuran yang tidak benar, iklan palsu, pengakuan laba palsu, transaksi barang haram, kontrak yang cacat, kesepakatan yang mengandung penipuan, dan lain-lain.
      c.       Keuangan Publik
      1)      Sumber- sumber Pendapatan Negara
Al- Ghazali menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal adalah harta tanpa ahli waris pemiliknya, tidak dapat dilacak, ditambah sumbangan sedekah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya. Pajak- pajak yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai, jaziyah dan upeti atau amwal al masalih. Disamping itu, Al- Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain yang berkaitan dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan pembagian beban diantara para pembayar pajak.
      2)      Utang Publik
Dengan melihat kondisi ekonomi, Al-Ghazali mengizinkan utang publik jika memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan dimasa yang akan datang. contoh utang seperti ini adalah revenue bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di Amerika Serikat.
      3)      Pengeluaran Publik
Penggambaran fungsional dari pengeluaran publik yang direkomendasikan Al- Ghazali bersifat agak luas dan longgar, yakni penegakan keadilan dan stabilitas negara, serta pengembangan suatu masyarakat yang makmur. Mengenai pembangunan masyarakat secara umum Al- Ghazali menunjukkan perlunya membangun infrastruktur sosioekonomi. Al- Ghazali mengakui “ Konsumsi bersama” dan aspek spill- over dari barang- barang publik. Di lain tempat ia menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat diadakan untuk fungsi- fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik, pertahanan dan pelayanan kesehatan.

      Permintaan, penawaran, harga dan laba
                  Walaupun Ghazali tidak menjelaskan permintaan dan penawaran dalam terminologi modern, beberapa paragraf dari tulisannya jelas menunjukkan bentuk kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang ”naik dari kiri bawah ke kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai ”jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”.  Sementara untuk kurva permintaan yang ”turun dari kiri atas ke kanan bawah”  dijelaskan oleh dia sebagai ”harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”.
            Ia juga memiliki wawasan tentang konsep elastisitas saat menyatakan bahwa pengurangan margin keuntungan dengan mengurangi harga akan menyebabkan peningkatan penjualan, dan karenanya terjadi peningkatan laba. Disamping itu al-Ghazali juga menyadari tentang permintaan harga inelastis. Ia menyataka karena makanan adalah kebutuhan pokok, motivasi laba harus seminimal mungkin mendorong perdagangan makanan, karena mungkin terjadi eksploitasi melalui harga dan laba yang berlebihan.
            Imam Ghazali dan para pemikir lain pada zamanya ketika membicarakan harga biasanya langsung mengkaitkannya dengan keuntungan. Keuntungan belum secara jelas dikaitkan dengan pendapatan dan biaya. Bagi Ghazali, keuntungan adalah kompensasi dari kepayahan dan perjalanan, risiko bisnis, dan ancaman keselamatan diri si pedagang. Baginya keuntunganlan yang menjadi motivasi pedagang. Namun ia menekankan kembali bahwa keuntungan yang sesungguhnya adalah keuntungan akhirat.
Seputar pajak
            Menurut Imam Ghazali, apabila suatu negara sangat membutuhkan tentara untuk menjaga dan melindungi wilayahnya dari segala macam ancaman, sementara perbendaharaan negara tidak mencukupi, pemerintah berhak memungut pajak dari rakyatnya yang mampu. Dalam hal ini, ia mensyaratkan bahwa pemerintah negara itu merupakan pemerintah yang kredibel, kondisi keuangan negara benar-benar dalam keadaan kosong, dan kebijakan pajak ini hanya khusus dikenakan pada kondisi tersebut, yakni untuk memenuhi kebutuhan tentara saja.
        Institusi Perbankan
Imam Al-Ghazali menyebutkan perlu adanya percetakan uang dengan perlunya usaha perbankan. Bersamaan dengan berdirinya kantor percetakan uang tersebut, oleh pemerintah, dalam dunia perekonomian muncul kebutuhan lain yang tidak kurang pentingnya, yaitu institusi perbankan. Dalam tingkatannya yang pertama, institusi ini bertugas menjadi tempat penukaran mata uang yang berlainan, dan juga sebagai perantara untuk mengirimkan uang ke daerah-daerah yang lain.
Dunia Islam di zaman AL-Ghazali sudah mengenal adanya pasar-pasar internasional, tempat bertemunya segala perdagangan dari berbagai bangsa, dan stasiun berkumpulnya segala barang dagangan dari Timur dan Barat.
Adapun mata uang yang dipergunakan di pasar-pasar ialah mata uang emas(dinar), dan mata uang perak(dirham). Uang dinar beredar di wilayah-wilayah sebelah barat Negara Islam, sedangkan uang dirham beredar di Irak dan Persi. Akan tetapi, pada abad ke-4 mulai beredar uang dinar di Irak dan daerah lainnya, sedangkan diwilayah sebelah timur tetap memakai uang dirham.
Nilai uang dinar adalah 14 dirham, tetapi selalu turun naik dari waktu ke waktu dan nilainyapun berbeda dari suatu daerah dengan daerah yang lain. Bahkan, nilainya pernah turun menjadi 10 dirham, berbeda 13 dirham, bahkan naik menjadi 15 dirham.
Berhati-hatilah terhadap riba, karena pekerjaan perbankan selalu menghadapi persoalan tukar-menukar keuangan dan senantiasa berada di pinggir dosa, Al-Ghazali berulangkali memperingatkan supaya para banker dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba.
     
      Larangan Riba
Bagi Al-Ghozali larangan riba yang dipandang sama dengan bunga adalah mutlak. Seperti halnya para ilmuan Muslim dan Eropa, pada umumnya mengasumsikan bahwa nilai suatu barang tidak terkait dengan berjalannya waktu. Terdapat dua cara bunga dapat muncul dalam bentuk yang tersembunyi. Bunga dapat muncul jika ada pertukaran emas dengan emas, tepung dengan tepung, dan sebagainya, dengan jumlah yang berbeda atau dengan waktu penyerahan yang berbeda. Jika waktu penyerahan tidak segera dan ada permintaan untuk melebihkan jumlah komoditi, kelebihan ini disebut riba al-nasiah. Jika jumlah komoditas yang diperlukan tidak sama, kelebihan yang diberikan dalam pertukaran tersebut disebut riba al-fadl. Menurut Ghazali kedua bentuk transaksi tersebut hukumnya haram.
Jika pertukaran melibatkan komoditas dengan jenis yang sama, seperti logam (emas dan perak) atau bahan makan, hanya riba al-nasiah yang dilarang, sementara riba al-fadl diperbolehkan. Bila penukarannya antara komoditas dengan jenis yang berbeda (logam dan makanan) keduanya diperbolehkan.


Daftar Pustaka
  • Amalia, Euis. 2007. ”Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingg Kontemporer”. Pusaka Asatruss: Jakarta.
  • Karim, Adiwarman A. 2006. ”Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
  • Karim, Adiwarman A. 2004. ”Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer”. Gema Insani Press: Jakarta.
  • Perwaatmadja, Karnaen A, & Anis Biarwati. 2008. ”Jejak Rekam Ekonomi Islam”. Cicero Publishing: Jakarta.
  • Chapra, Umar. 2000. ”Islam Dan Tantangan Ekonomi”. Gema Insani Press: Jakarta.
·         Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahan, Bandung, J-Art,2004








[1] Adiwarman A Karim. Sejarah pemikiran ekonomi islam. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006) hal 314
[2] Karnaen A Perwaatmadja & Anis Biarwati. Jejak Rekam Ekonomi Islam. (jakarta: Cicero Publishing, 2008) hal 38
[3] Euis Amalia M.Ag. sejarah pemikiran ekonomi islam dari masa klasik hingga kontemporer. (jakarta: pusaka asatruss, 2007) hal 123
[4] Umer Chapra. Islam dan Tantangan Ekonomi. (Jakarta: Gema Insani Press, 2000) hal 1

[5] Adiwarman A Karim. Ekonomi islam suatu kajian kontemporer. (jakarta: gema insani press, 2004) hal 53 Karnaen A Perwaatmadja & Anis Biarwati. Jejak Rekam Ekonomi Islam. (jakarta: Cicero Publishing, 2008) hal 38
[6] Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahan, Bandung, J-Art,2004